Diterbitkan pada: 2025-12-05
(Jakarta, 4 Desember 2025) — Komitmen baru Indonesia untuk memajukan ekonomi biru menandai momen struktural bagi lintasan ekonomi Asia Tenggara, dengan implikasi yang membentang dari arus investasi berbasis ESG hingga ketahanan rantai pasokan dan batas baru dalam inovasi berbasis laut, menurut analisis dari EBC Financial Group (EBC).

"Indonesia sedang memasuki fase di mana pertumbuhan ekonomi dan pengelolaan lingkungan tidak lagi menjadi prioritas yang saling bersaing," ujar Samuel Hertz, Kepala APAC di EBC Financial Group. "Ekonomi biru menyatukan kedua dunia tersebut dengan cara yang dapat membentuk kembali cara Indonesia berinteraksi dengan investor global, pasar iklim, dan sistem perdagangan regional."
Dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia, negara kepulauan terbesar di planet ini, dan salah satu konsentrasi keanekaragaman hayati laut terkaya, Indonesia memiliki posisi unik untuk mengubah lautannya menjadi mesin ekonomi yang strategis.
Indonesia memiliki beberapa hutan mangrove terbesar di dunia dan ekosistem lamun yang luas. Luas totalnya sekitar 3,4 juta hektar, mewakili sekitar 20% dari total luas mangrove dunia, dan mampu menyerap CO₂ jauh lebih efisien daripada hutan daratan. Ekosistem ini merupakan aset iklim yang berpotensi menjadi jangkar bagi pasar karbon biru yang relevan secara global — pasar yang dapat memainkan peran penting dalam membantu investor dan perusahaan memenuhi target dekarbonisasi yang semakin ketat.
Namun, mewujudkan potensi ini membutuhkan kerangka tata kelola yang kredibel, sistem pemantauan yang konsisten, dan perlindungan yang kuat di tingkat masyarakat. Kredibilitas struktur ini akan menentukan apakah Indonesia dapat mengubah serapan karbon alami ini menjadi aset iklim yang terukur, atau apakah karbon biru masih merupakan peluang yang belum dikembangkan.
Inovasi dengan cepat muncul sebagai pendorong utama ekonomi biru Indonesia. Pada tahun 2024, produksi rumput laut Indonesia mencapai 10,80 juta ton, naik 10,82% dari tahun sebelumnya, dan kini memasok sekitar 38% dari produksi rumput laut global. Namun, saat ini hanya sekitar 11,65% dari potensi lahan budidaya yang dimanfaatkan — menandakan ruang pertumbuhan yang besar dan pengembangan produk hilir bernilai tambah seperti bioplastik, pupuk, dan nutrasetikal.
Bioteknologi kelautan juga menghadirkan peluang di bidang farmasi dan material ramah lingkungan yang berasal dari keanekaragaman hayati laut Indonesia yang kaya. Akuakultur berbasis teknologi terus berkembang untuk memenuhi tuntutan ketertelusuran, ketahanan pangan, dan tanggung jawab lingkungan. Inisiatif pelabuhan pintar dan logistik maritim digital semakin menunjukkan ambisi Indonesia untuk mengintegrasikan inovasi ke dalam sektor-sektor yang sebelumnya tradisional.
Kombinasi skala, inovasi, dan potensi yang belum dimanfaatkan ini menempatkan Indonesia bukan hanya sebagai pengekspor komoditas mentah, tetapi juga sebagai pusat global untuk teknologi berkelanjutan berbasis laut.
Letak geografis Indonesia memberikannya keuntungan strategis di saat rantai pasokan global sedang mengalami transformasi signifikan. Seiring ketegangan geopolitik, pergeseran arus energi, dan fragmentasi perdagangan yang mengubah logistik global, Indonesia muncul sebagai pusat maritim penting di Asia Tenggara.
Ekspansi ekonomi birunya dapat memengaruhi pengembangan koridor pelayaran baru, terutama rute yang melintasi Selat Malaka dan jalur alternatif di seluruh kepulauan timur. Proyek energi terbarukan berbasis laut juga berpotensi mengubah logistik energi regional, sementara meningkatnya minat ASEAN terhadap pembiayaan karbon biru memposisikan Indonesia sebagai pemimpin regional dalam tata kelola kelautan.
Lebih lanjut, manfaat ekonominya sudah dirasakan oleh masyarakat pesisir. Pendapatan rata-rata rumah tangga pesisir dan petani rumput laut di wilayah produksi meningkat sekitar 4,55% pada tahun 2024, yang mencerminkan pertumbuhan akuakultur dan peningkatan produktivitas. Hal ini menunjukkan bahwa ekonomi biru dapat memajukan keberlanjutan dan inklusi sosial secara bersamaan.
Para analis EBC memandang ekonomi biru Indonesia sebagai transformasi struktural multi-dekade yang dibentuk oleh tiga pilar utama. Pertama, kredibilitas kebijakan di pasar karbon biru akan menentukan apakah Indonesia dapat menarik pembiayaan ESG global dan memantapkan dirinya sebagai pemimpin dalam solusi iklim berbasis alam. Kedua, inovasi dalam bioteknologi kelautan, hilirisasi rumput laut, dan akuakultur berkelanjutan akan membantu mendorong diversifikasi dari ketergantungan pada komoditas mentah. Ketiga, peningkatan infrastruktur maritim dan sistem logistik akan memperkuat peran Indonesia dalam arsitektur perdagangan Asia Tenggara yang terus berkembang.
"Ekonomi biru berpotensi mendefinisikan ulang posisi Indonesia di pasar global — bukan hanya sebagai eksportir komoditas, tetapi juga sebagai pemimpin dalam keberlanjutan dan inovasi," tambah Hertz. "Investor, pedagang, dan analis harus memandang ini sebagai kisah transformasi struktural, bukan tema jangka pendek."
Untuk analisis lebih lanjut dari EBC, kunjungi: www.ebc.com.